RSS

Semua Ada Hikmahnya

Semua Ada Hikmahnya

Perpisahan selalu saja menimbulkan kesedihan. Seperti yang kualami saat ini. Aku bersama keluargaku sedang berada di stasiun. Ya, hari ini aku ke stasiun untuk pergi ke kota yang jauh dari tempatku kini berada, kota yang namanya saja baru kukenal sebulan yang lalu. Sebuah kota yang memerlukan waktu sekitar 7 jam untuk kutempuh dari rumahku.
Ayah, ibu, kakak, dan adikku berkumpul semua saat ini untuk mengantarku. Kulihat mereka tersenyum memberiku semangat untuk menyambut kehidupanku di kota baru nanti. Aku pun turut tersenyum, walau sebenarnya hatiku menangis. Menangis karena sedih. Sedih karena aku akan berpisah dengan keluargaku tercinta dalam waktu yang cukup lama, berpisah dengan teman-temanku tersayang, kota ternyaman, beserta kenangan-kenangan indah di dalamnya.
Aku berusaha tegar, karena aku tahu ini demi masa depanku. Aku akan pindah ke kota lain untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Aku tak tahu mengapa ayah memintaku untuk bersekolah di kota lain itu, bukankah pendidikan di kotaku ini juga sudah baik. Ah, entahlah, aku hanya ingin menjadi anak berbakti. Mungkin aku akan menemukan jawabannya kelak.
Keretaku sudah tiba. Segera kuangkat barang-barang keperluanku. Adik dan kakakku membantuku membawakannya ke dalam kereta. Ketika kereta mulai berjalan, kulihat keluargaku tersenyum dan melambaikan tangan. Di mata mereka terlihat harapan yang sangat besar padaku, terutama di mata ayah.
Kereta semakin jauh meninggalkan stasiun. Dalam hati aku berjanji, “Ayah, Ibu, aku akan berjuang demi cita-citaku, demi kebahagiaan kalian, dan demi keluarga kita.”
* * *
Dua tahun satu bulan sudah aku hidup di kota baruku ini. Sebuah kota pelajar di Jawa Tengah. Kini, aku duduk di kelas XII di sebuah SMA favorit di kota ini.
Hari ini hari ke empat belas aku berada di kelas XII. Tetapi aku belum mengenal semua tenman-temanku di kelas ini. Aku memang sulit mengenal orang. Tetapi nampaknya itu hal yang wajar untuk seorang laki-laki seusiaku.
Hari ini aku duduk di bangku kedua dari belakang. Di depanku duduk dua orang siswi. Baru kali ini aku dan mereka duduk berdepan-belakang, jadi aku tak tahu nama mereka, apalagi berbicara dengan mereka. Tetapi salah satu siswi tersebut sudah tahu namaku dan dia mulai menyapaku.
“Hi, Arya. Udah tahu namaku? Hehehehe….Kayaknya kita udah setengah bulan di kelas ini, tapi baru kali ini ya kita ngomong?”
“Oh…eh…ya…hee” jawabku gugup karena aku terkejut betapa beraninya siswi ini menyapaku lebih dahulu,”Oh ya, namamu siapa? Maaf, aku emang belum kenal siswa-siswa di kelas ini.”
“Ah…Tak apa. Maklum, cowok emang gitu, ga’ peduli lingkungan sekitar, hehehehe….Namaku Zakiyah Insani. Tapi kalau manggil aku Zakiyah, jangan Zaki ya…!”
“OK. Oh ya, panggil aku Ari aja ya.”
“OK.”
Kami menghentikan pembicaraan karena guru sudah datang dan pelajaran akan dimulai. Hatiku bertanya mengapa siswi di dekat Zakiyah tidak ikut berkenalan, bahkan menengokpun tidak. Sepertinya dia orang yang pendiam.
* * *
Hari berlalu. Akupun sudah semakin mengenal teman-temanku di kelas, apalagi dengan Zakiyah. Aku, dia, dan teman sebelahku sering mengobrol. Berdiskusi tentang hal-hal yang kecil sampai dengan masalah-masalah yang serius. Namun aku masih belum mengenal teman sebelah Zakiyah, walaupun kini aku sudah tahu namanya. Kharisma Nuryani. Nama yang begitu indah bagiku.
Kharisma memang sungguh berkharisma buatku. Pertama kali kulihatnya, menurutku dia itu perempuan yang yah….lumayan cantik, putih, tinggi, cukup pintar, aktif organisasi juga. Ketika kulihat dia berbicara dengan orang lain, kutahu bahwa dia juga perempuan yang lemah lembut, sopan, dan bertatakrama, berbeda dengan siswi-siswi lainnya. Tambah lagi dengan jilbabnya yang rapi dan selalu menjulur ke dada. Aku kemudian berpikir, mungkin dia adalah perempuan yang menjaga komunikasi dengan lawan jenis.
* * *
Hari terus berganti. Kharisma sudah mulai mau mengobrol denganku. Kebetulan juga, hampir tiap hari tempat duduk kami berdekatan.
Namun aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku. Entah kenapa tiap hari aku hampir selalu memikirkan Kharisma. Ada apa ini? Tiap kali aku mengingatnya, perasaan takut untuk berpisah dengannya selalu melanda diriku. Astaghfirullah…
Kharisma telah mengubah hidupku. Tiap kali bayangan dirinya terlintas di pikiranku, aku teringat Allah dan berusaha untuk menghapus bayangan Kharisma tersebut dari otakku. Tidak seperti dahulu ketika aku merasa terpikat oleh seseorang, aku akan berusaha untuk terus mengingatnya, dan hal itu malah membuatku lalai kepada Tuhanku. Hatiku bertanya-tanya, “Tunggu, tunggu, mungkinkah aku merasakan rasa yang sudah lama tidak aku rasakan itu? Oh, tidak!”
* * *
Siang ini saat istirahat, kulihat Kharisma melamun di kursinya. Sendiri. Mukanya pucat dan pandangannya kosong. Sebenarnya, tidak hanya kali ini kulihat Kharisma begitu. Hampir tiap hari kulihat ia murung, seperti memikirkan masalah yang besar. Dan tiap kali aku melihatnya seperti itu, perasaan ingin melindungi dan menemaninya untuk selamanya selalu muncul di benakku.
Aku mengerti sekarang mengapa aku harus tinggal di kota ini. Selain untuk mendapat pendidikan yang bagus, aku pikir mungkin di tempat inilah jodohku berada. Ya, takdir Tuhan tiada yang tahu bukan?
Harus kuakui lagi, Kharisma adalah sosok yang berkharisma, dan iapun telah mengubah hidupku, mengubah cara berpikirku tentang arti kehidupan ini. Aku merasa kini aku lebih dapat berpikir dewasa dan bijaksana.
* * *
Hari terus berlalu. Hatiku semakin terpikat olehnya. Dalam hati aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik dan bisa membahagiakan keluargaku. Aku juga bertekad untuk menjadi pemimpin rumah tangga yang baik kelak, aku akan selalu menyayangi dan melindunginya, meski sekarang aku bukanlah siapa-siapa dan belum bisa berbuat apa-apa untuknya.
“Tunggu aku, Kharisma Nuryani, si perempuan yang berkharisma dan bercahaya, sang bunga jiwaku….!”


Solo, 23 Oktober 2009
21. 55 WIB

Marina Rizki Tri Cahyani

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar